Jangan membuatnya menjadi sia-sia!
Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. II Kor. 6:1
Akhir tahun 1999 lalu melalui beberapa ayat Firman Tuhan saya dituntun untuk mencermati apa yang sudah saya -secara pribadi- nikmati dengan kasih karuniaNya. Tetapi yang lebih menantang saya adalah pertanyaan apakah kasih karunia yang sudah saya terima tersebut memang tidak menjadi sia-sia di dalam kehidupan yang saya hidupi selama ini?
Macam apakah kasih karuniaNya yang sudah saya nikmati?
Sesudah mengaku menerima Kristus secara pribadi pada usia 12 tahun, bisa dikatakan tidak ada perubahan yang berarti di dalam watak perbuatan saya. Hari-hari saya lalui seperti kebanyakan orang di lingkungan saya hidup dan bertumbuh. Manusia batiniah saya rasanya juga masih tetap bangkrut seperti teman-teman saya yang lain. Pergi ke Gereja memang aktif; tetapi itu karena memang semua anggota keluarga kami demikian pada waktu itu. Kalau tidak salah ingat, sejak usia 12 tahun itu sampai tahun-tahun awal di perguruan tinggi, kira-kira empat sampai lima kali lagi saya menerima Kristus sebagai juru selamat saya. Dimanakah kasih karunia Allah berlaku bagi saya pada masa-masa ini?
Kemudian hari barulah menyadari kasih karunia macam apa yang sudah saya terima di masa-masa tersebut.
Lingkungan bertumbuh sebagai anak
Dari SD hingga lulus SMP saya tinggal di satu gang buntu yang diberi nama Gang ABRI. Disebut demikian karena 6 keluarga yang tinggal di gang tersebut adalah anggota ABRI. Tidak ada yang terkecuali, semua ayah di gang tersebut beristri lebih dari satu. Kira-kira satu kilometer dari gang kami adalah kompleks pelacuran. Lingkungan saya secara moral bisa saudara bayangkan seperti apa. Satu dua kejadian tidak sampai hati bagi saya untuk menuliskannya disini karena buruknya.
Pada waktu masuk SMU saya pindah kota dan tinggal bersama saudara ibu saya. Saya tinggal di suatu kampung kecil yang baru berkembang yang terdiri dari orang-orang pinggiran di dekat kota tersebut. Tetangga-tetangga saya adalah pencopet, pencuri, wanita pelacur, pengemis yang isterinya lebih dari satu dan dengan rumah yang cukup besar, kakak beradik yang incest. Pernah suatu kali di depan rumah yang saya tinggali salah satu anak tetangga dipukuli karena mencuri. Saya juga pernah diminta membuat surat cinta oleh seorang pencopet kawakan disitu. Suatu kali saya juga harus menyaksikan tetangga sebelah rumah persis yang adalah wanita P sedang jatuh tertelungkup saat bunuh diri meminum racun. Isteri Om saya sendiri dimana saya tinggal yang kemudian diceraikan, adalah juga mantan wanita P. Selama satu tahun penuh saya tinggal di lingkungan yang demikian.
Pendidikan formal
Saya lahir di dalam keluarga besar dimana ada 9 saudara kandung dan 1 saudara tiri dalam keluarga kami. Dengan pekerjaan ayah sebagai polisi dan tinggal di desa pelosok, maka tidak ada bayangan bahwa saya akan belajar sampai di perguruan tinggi. Ketika di PT, saya adalah salah satu dari sedikit orang yang kuliah pada waktu itu. Sesudah lulus SMP, atas nasihat ayah, saya harus sekolah kejuruan supaya bisa segera bekerja. Saat diterima tes di sekolah kejuruan, kami mendapati bahwa biaya masuknya terlalu tinggi bagi kemampuan ayah saat itu. Kami menangis berdua dan terpaksa masuk sekolah SMA yang umum. Karena mendapat kesempatan masuk tanpa tes dan mendapat bea siswa sewaktu di SMA, saya memberanikan diri memasuki perguruan tinggi tanpa cita-cita yang jelas.
Kemudian hari ketika saya melihat ke belakang dan merenungkannya, saya bertanya-tanya bagaimana mungkin saya bisa survive dari pengaruh lingkungan yang demikian? Seakan-akan saya tidak tersentuh sama sekali oleh pengaruhnya, seperti ibu almarhumah saya pernah mengatakan “Agung ini nanti kalau besar pasti maunya semuanya putih”. Satu hal yang saya tahu saat itu adalah bahwa saya tidak berusaha melawannya ataupun melarikan diri dari sana, karena memang tidak tahu atau menyadarinya.
Saya tidak menyangka bahwa saya bisa melewati pendidikan di PT (dengan beberapa tahun bea siswa). Saya coba teliti ke dalam diri dan pengaruh keluarga atau lingkungan, saya tidak menemukan yang mendorong ke sana. Malahan sebaliknyalah yang seharusnya saya hidupi; seperti kebanyakan teman saya waktu itu.
Satu-satunya jawaban yang bisa menjelaskan dan kemudian sangat melegakan; adalah pastilah Allah disebalik semuanya ini. Inilah wujud kasih karuniaNya bagi saya. Dia-lah yang oleh kasih karuniaNya bagi saya telah turut bekerja dalam masa lalu saya untuk mendatangkan kebaikan bagi saya yang telah terpanggil sesuai dengan rencanaNya (Roma 8:28). Memang sesudah Saya menerima Yesus saya tidak mengerti apa-apa, tetapi rupanya saya sudah terpanggil sesuai dengan rencanaNya. Saat semester 2 di perkuliahan, seorang teman mengajak saya ke gelanggang mahasiswa yang rupanya sedang ada rally Navigator saat itu. Sesudah diskusi kelompok kecil selesai dan saya kembali ke kos-kosan, saya menuliskan dibuku harian saya waktu itu (8 Feb. 1982):”This is it. Inilah saat yang lama sekali saya tunggu-tunggu!”.
Sesudah dimuridkan, bertumbuh dan ikut ambil bagian dalam gerakan pemuridanNya, saya menyadari adanya suatu rancangan besar yang Allah sedang rampungkan dimana saya juga ada di dalamnya (Ef. 1:4,5). Untuk itulah kasih karunia masa lalu saya adalah cukup bagi saya sebagaimana terwujud dalam apa adanya saya saat ini di hadapanNya. Kasih karuniaNya membuat saya tidak tersentuh oleh bobroknya lingkungan pergaulan saya. Kasih karuniaNya juga menghindarkan saya dari nasib menjadi manusia bobrok yang adalah sewajarnya kalau saya terima. Kasih karuniaNya menuntun saya kepada pendidikan tinggi –melalui berbagai ketidak-mungkinan- supaya saya bisa hidup bagi para mahasiswa dan menghasilkan para pekerjaNya melaluinya hingga ke suku – kaum – bahasa dan bangsa-bangsa. Saya bisa bersaksi sekarang bahwa sudah bertahun-tahun sebelumnya Allah telah menunggu saya di antara mahasiswa.
Saya bisa bagikan diberbagai bidang kehidupan saya lainnya bagaimana kasih karunianya begitu berlimpah atas jalan-jalan hidup kami (saya, Wiewiek, Aldo dan Kiani).
Jangan sampai menyia-nyiakan
Bagaimanakah supaya kasih karunia yang sudah saya terima secara berlimpah tersebut tidak menjadi sia-sia? Ijinkan saya membagikan mengenainya dari proses pembelajaran selama ini.
1. Selalu memandangnya demikian; bahwa tidak ada sesuatupun yang ada pada kita adalah hasil dan terserah kita di dalam mengelola dan memanfaatkannya. Kesehatan, pemilikan (uang, waktu, kapasitas, pekerjaan, karir atau jabatan dll nya) adalah wujud dari kasih karuniaNya.
1Kor 4:7 Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?
Kiranya kita bisa mengklaim bahwa “Engkaulah satu-satunya yang kumiliki dan bagianku!” Yang lain-lain adalah hanya limpahan kasih karuniaNya dan kita hidupi karena untuk mewujudkan maksud dan rancangan kemulianNya dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
Satu cara self assessment yang sederhana untuk hal ini adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Seberapa menyatu segala sumber daya yang ada pada saya dengan aliran pergerakan InjilNya? Mengalir kepda orang-orang yang ada diberbagai jaringan hubungan saya? Keluarga besar, tetangga, teman kantor, teman hobby dan sosial lainnya?”. “Seberapa menyatu aktifitas kehidupan keseharian saya dengan aliran kabar baikNya?” “Seberapa sengaja saya melakukannya?”
Jangan membuatnya menjadi sia-sia!
Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. II Kor. 6:1
Akhir tahun 1999 lalu melalui beberapa ayat Firman Tuhan saya dituntun untuk mencermati apa yang sudah saya -secara pribadi- nikmati dengan kasih karuniaNya. Tetapi yang lebih menantang saya adalah pertanyaan apakah kasih karunia yang sudah saya terima tersebut memang tidak menjadi sia-sia di dalam kehidupan yang saya hidupi selama ini?
Macam apakah kasih karuniaNya yang sudah saya nikmati?
Sesudah mengaku menerima Kristus secara pribadi pada usia 12 tahun, bisa dikatakan tidak ada perubahan yang berarti di dalam watak perbuatan saya. Hari-hari saya lalui seperti kebanyakan orang di lingkungan saya hidup dan bertumbuh. Manusia batiniah saya rasanya juga masih tetap bangkrut seperti teman-teman saya yang lain. Pergi ke Gereja memang aktif; tetapi itu karena memang semua anggota keluarga kami demikian pada waktu itu. Kalau tidak salah ingat, sejak usia 12 tahun itu sampai tahun-tahun awal di perguruan tinggi, kira-kira empat sampai lima kali lagi saya menerima Kristus sebagai juru selamat saya. Dimanakah kasih karunia Allah berlaku bagi saya pada masa-masa ini?
Kemudian hari barulah menyadari kasih karunia macam apa yang sudah saya terima di masa-masa tersebut.
Lingkungan bertumbuh sebagai anak
Dari SD hingga lulus SMP saya tinggal di satu gang buntu yang diberi nama Gang ABRI. Disebut demikian karena 6 keluarga yang tinggal di gang tersebut adalah anggota ABRI. Tidak ada yang terkecuali, semua ayah di gang tersebut beristri lebih dari satu. Kira-kira satu kilometer dari gang kami adalah kompleks pelacuran. Lingkungan saya secara moral bisa saudara bayangkan seperti apa. Satu dua kejadian tidak sampai hati bagi saya untuk menuliskannya disini karena buruknya.
Pada waktu masuk SMU saya pindah kota dan tinggal bersama saudara ibu saya. Saya tinggal di suatu kampung kecil yang baru berkembang yang terdiri dari orang-orang pinggiran di dekat kota tersebut. Tetangga-tetangga saya adalah pencopet, pencuri, wanita pelacur, pengemis yang isterinya lebih dari satu dan dengan rumah yang cukup besar, kakak beradik yang incest. Pernah suatu kali di depan rumah yang saya tinggali salah satu anak tetangga dipukuli karena mencuri. Saya juga pernah diminta membuat surat cinta oleh seorang pencopet kawakan disitu. Suatu kali saya juga harus menyaksikan tetangga sebelah rumah persis yang adalah wanita P sedang jatuh tertelungkup saat bunuh diri meminum racun. Isteri Om saya sendiri dimana saya tinggal yang kemudian diceraikan, adalah juga mantan wanita P. Selama satu tahun penuh saya tinggal di lingkungan yang demikian.
Pendidikan formal
Saya lahir di dalam keluarga besar dimana ada 9 saudara kandung dan 1 saudara tiri dalam keluarga kami. Dengan pekerjaan ayah sebagai polisi dan tinggal di desa pelosok, maka tidak ada bayangan bahwa saya akan belajar sampai di perguruan tinggi. Ketika di PT, saya adalah salah satu dari sedikit orang yang kuliah pada waktu itu. Sesudah lulus SMP, atas nasihat ayah, saya harus sekolah kejuruan supaya bisa segera bekerja. Saat diterima tes di sekolah kejuruan, kami mendapati bahwa biaya masuknya terlalu tinggi bagi kemampuan ayah saat itu. Kami menangis berdua dan terpaksa masuk sekolah SMA yang umum. Karena mendapat kesempatan masuk tanpa tes dan mendapat bea siswa sewaktu di SMA, saya memberanikan diri memasuki perguruan tinggi tanpa cita-cita yang jelas.
Kemudian hari ketika saya melihat ke belakang dan merenungkannya, saya bertanya-tanya bagaimana mungkin saya bisa survive dari pengaruh lingkungan yang demikian? Seakan-akan saya tidak tersentuh sama sekali oleh pengaruhnya, seperti ibu almarhumah saya pernah mengatakan “Agung ini nanti kalau besar pasti maunya semuanya putih”. Satu hal yang saya tahu saat itu adalah bahwa saya tidak berusaha melawannya ataupun melarikan diri dari sana, karena memang tidak tahu atau menyadarinya.
Saya tidak menyangka bahwa saya bisa melewati pendidikan di PT (dengan beberapa tahun bea siswa). Saya coba teliti ke dalam diri dan pengaruh keluarga atau lingkungan, saya tidak menemukan yang mendorong ke sana. Malahan sebaliknyalah yang seharusnya saya hidupi; seperti kebanyakan teman saya waktu itu.
Satu-satunya jawaban yang bisa menjelaskan dan kemudian sangat melegakan; adalah pastilah Allah disebalik semuanya ini. Inilah wujud kasih karuniaNya bagi saya. Dia-lah yang oleh kasih karuniaNya bagi saya telah turut bekerja dalam masa lalu saya untuk mendatangkan kebaikan bagi saya yang telah terpanggil sesuai dengan rencanaNya (Roma 8:28). Memang sesudah Saya menerima Yesus saya tidak mengerti apa-apa, tetapi rupanya saya sudah terpanggil sesuai dengan rencanaNya. Saat semester 2 di perkuliahan, seorang teman mengajak saya ke gelanggang mahasiswa yang rupanya sedang ada rally Navigator saat itu. Sesudah diskusi kelompok kecil selesai dan saya kembali ke kos-kosan, saya menuliskan dibuku harian saya waktu itu (8 Feb. 1982):”This is it. Inilah saat yang lama sekali saya tunggu-tunggu!”.
Sesudah dimuridkan, bertumbuh dan ikut ambil bagian dalam gerakan pemuridanNya, saya menyadari adanya suatu rancangan besar yang Allah sedang rampungkan dimana saya juga ada di dalamnya (Ef. 1:4,5). Untuk itulah kasih karunia masa lalu saya adalah cukup bagi saya sebagaimana terwujud dalam apa adanya saya saat ini di hadapanNya. Kasih karuniaNya membuat saya tidak tersentuh oleh bobroknya lingkungan pergaulan saya. Kasih karuniaNya juga menghindarkan saya dari nasib menjadi manusia bobrok yang adalah sewajarnya kalau saya terima. Kasih karuniaNya menuntun saya kepada pendidikan tinggi –melalui berbagai ketidak-mungkinan- supaya saya bisa hidup bagi para mahasiswa dan menghasilkan para pekerjaNya melaluinya hingga ke suku – kaum – bahasa dan bangsa-bangsa. Saya bisa bersaksi sekarang bahwa sudah bertahun-tahun sebelumnya Allah telah menunggu saya di antara mahasiswa.
Saya bisa bagikan diberbagai bidang kehidupan saya lainnya bagaimana kasih karunianya begitu berlimpah atas jalan-jalan hidup kami (saya, Wiewiek, Aldo dan Kiani).
Jangan sampai menyia-nyiakan
Bagaimanakah supaya kasih karunia yang sudah saya terima secara berlimpah tersebut tidak menjadi sia-sia? Ijinkan saya membagikan mengenainya dari proses pembelajaran selama ini.
1. Selalu memandangnya demikian; bahwa tidak ada sesuatupun yang ada pada kita adalah hasil dan terserah kita di dalam mengelola dan memanfaatkannya. Kesehatan, pemilikan (uang, waktu, kapasitas, pekerjaan, karir atau jabatan dll nya) adalah wujud dari kasih karuniaNya.
1Kor 4:7 Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?
Kiranya kita bisa mengklaim bahwa “Engkaulah satu-satunya yang kumiliki dan bagianku!” Yang lain-lain adalah hanya limpahan kasih karuniaNya dan kita hidupi karena untuk mewujudkan maksud dan rancangan kemulianNya dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
Satu cara self assessment yang sederhana untuk hal ini adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Seberapa menyatu segala sumber daya yang ada pada saya dengan aliran pergerakan InjilNya? Mengalir kepda orang-orang yang ada diberbagai jaringan hubungan saya? Keluarga besar, tetangga, teman kantor, teman hobby dan sosial lainnya?”. “Seberapa menyatu aktifitas kehidupan keseharian saya dengan aliran kabar baikNya?” “Seberapa sengaja saya melakukannya?”
2. Pandanglah segala sesuatu dari perspektif Allah.
Sergei Tarassenko, seorang fisikawan Rusia ketika mengajar mengenai perspektif Allah mengatakan¹:
”Kita cenderung memandang peristiwa atau kejadian dengan pikiran bagaimana hal tersebut berdampak bagi kita disini dan sekarang, tetapi Allah memiliki perspektif yang berbeda; Dia selalu memandang bagaimana hal tersebut memberi sumbang sih kepada pertumbuhan kita di dalam keserupaan dengan Kristus, dan kepada kemajuan dan kuasa Injil di negeri kita sendiri hingga ke bangsa-bangsa di dunia”.
Setiap peristiwa dan kejadian, saya ulangi, setiap peristiwa dan kejadian di dalam kehidupan kita sekecil apapun; sebesar apapun adalah hanya di dalam rangka kedua hal tersebut di atas. Baiklah kita memberanikan diri memandang hidup kita semua, setiap saat adalah selalu di dalam kerangka kedua hal di atas. Inilah yang dimaksudkan dengan ‘hanya hidup oleh percayanya itu’.
Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.” Heb 10:38
Kemarin sore, sesudah selesai sesi PA persiapan pernikahan dengan kami, si calon mempelai wanita berkata :”Saya jadi sadar sekarang, jika kita memandang pernikahan dengan cara pandang yang benar rupanya kita bisa dengan lega sekali menjalani dan menapakinya ”. Saya melihatnya bahwa dia baru saja dimerdekakan oleh kebenaran itu. Pernikahan hanyalah bayangan, sedangkan wujudnya adalah Kristus. Rahasia pernikahan adalah besar karena Kristus dan JemaatNya-lah yang sedang dimaksudkanNya.
3. Jika sedang mengalami saat-saat yang melelahkan, berat dan membingungkan, kembalilah kepada 1 dan 2 diatas.
Sekali lagi, kasih karuniaNya adalah berlimpah dan melebihi batas pemahaman dan pengertian kita. Kita selalu bisa kembali ke sana dan menemukan bahwa selalu ada tempat bagi kita di dalam rengkuhannya.
Berhenti, berdiam diri sejenak, mengakui segala sesuatunya dan dengan sisa-sisa tenaga berusaha berseru supaya Dia memampukan kita untuk bisa memandang sebagaimana Dia memandangnya. Berkeraslah untuk memeluk kakiNya dan jangan lepaskan sebelum Dia memberkati kita dengan lumasan minyak atas mata kita, supaya kita melihat. Disana, tiba-tiba saja langit terbuka dan mata kita terbuka lebar melihat betapa setiaNya Dia dan kembali meluruskan jalan kita serta mereka-rekakan kesesakan kita menjadi kebaikan bagi pemenuhan rancanganNya atas kita:
Dibentuknya untuk semakin menjadi serupa dengan Kristus dan memberi sumbang sih bagi pergerakan ‘Kabar Baik’Nya di setiap jalur jaringan hubungan kehidupan kita dengan orang lain.
¹Dikutip dari buku ‘Shining Like Stars’, Lindsay Brown.
Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. II Kor. 6:1
Akhir tahun 1999 lalu melalui beberapa ayat Firman Tuhan saya dituntun untuk mencermati apa yang sudah saya -secara pribadi- nikmati dengan kasih karuniaNya. Tetapi yang lebih menantang saya adalah pertanyaan apakah kasih karunia yang sudah saya terima tersebut memang tidak menjadi sia-sia di dalam kehidupan yang saya hidupi selama ini? Continue reading “Jangan membuatnya menjadi sia-sia!”