Merindukan aliran Kabar Baik di dalam dan melalui keluarga besar

Pendahuluan

Dalam tulisan ini saya mau berbagi mengenai pelajaran di dalam melayani keluarga besar yang berlatar belakang campur antara Kristen dan Islam. Dari 10 orang bersaudara jumlah total kami sekarang termasuk anak kurang lebih 40 orang (tulisan ini dibuat tahun 2011). Sejak bertumbuh dalam pemuridan 37 tahun yang lalu, saya masih terus menunggu bahwa Allah akan memenuhi janjiNya dalam Kis. 16:31. Dengan cara bagaimana Allah akan menyelamatkan kami? Seperti apa gerakan Injil KerajaanNya akan berlangsung dalam dan melalui keluarga kami? Bagian atau peranan apa lagi yang harus saya ambil? Banyak pertanyaan semacam ini yang saya gumuli dalam membebani mereka. Minggu demi minggu saya berseru kepadaNya untuk mereka.

Continue reading “Merindukan aliran Kabar Baik di dalam dan melalui keluarga besar”

#Sedikit cerita: mbak Lilik – 2

Kembali mengenai kakak tori ku mbak Lilik, saat itu situasi sesudah letusan Gunung Kelud yang hanya beberapa kilometer dari rumah di desanya. Akibat hujan pasir, jalan sepanjang kurang lebih 3 km di depan rumahnya tertutup pasir dan sulit dilalui kendaraan.

Dia berinisiatif membersihkan tumpukan pasir yang ada di jalan depan rumahnya dengan membayar seorang tukang batu di desanya.

Para tetangganya mentertawakan dan mengomentarinya “Usaha yang sia-sia!”.

Saat tumpukan pasir yang disingkirkan menggunung di pekarangan rumahnya, dia terpikir untuk memanfaatkannya jadi batako untuk dijual dan berbagi hasil dengan tukang tersebut.
Jadilah mereka dapat penghasilan melaluinya.

Para tetangga melihatnya dan dan menyadarinya. Mereka kemudian beramai-ramai ikut membersihkan, jalanan di depan rumah mereka masing-masing dan mengolahnya juga jadi batako untuk dijual.

Jadilah kampung disitu penghasil batako musiman yang laris manis. Untuk diketahui, pasir hasil letusan Gunung berapi kualitasnya bagus.

Iman yang tulus berbuahkan kebaikan Tampa pamrih Dan memberkati siapa saja yang ada di sekitar.

Sedikit cerita: mbak Lilik – 1

Mengingat mbak Lilik, kakak tiri saya yang hidupnya sederhana selalu membesarkan hati saya. Injil berbuah dengan segarnya dalam kehidupan dia.

Suatu saat ada siswi kelas 12 SMA tetangga dia yang percaya dan dilayaninya. Suatu malam ketika dia ke kamar kecil yang letaknya terpisah dari rumah induk (merupakan hal yang biasa di desa situ, kira-kira 10 km dari kota Kediri), dia dipukul orang tidak dikenalnya di bagian kepala. Akibatnya dia mengalami gegar otak, padahal sedang ingin masuk UNESA Surabaya.

Mbak Lilik mengajaknya mengambil langkah iman dan berkata:

“Kenapa kita tidak berdoa saja dan meminta Tuhan Yesus supaya kamu bisa diterima di PT yang kamu inginkan?”

Jadilah kemudian seperti yang mereka berdua doakan. Kakak saya yang Cuma lulus SD ini dengan berani menghidupi imannya.

3 Perhentian Perjalanan Iman

  1. Berhenti di fokus kepada obyek janji Allah saja

Saat Abram dan Sarai dipanggil, karena percaya mereka pergi; bahkan pergi dengan tidak mengetahui tempat yang mereka tujui. (Ibrani 11:8).

Mereka dijanjikan akan mendapatkan ‘keturunan’ dan ‘tanah perjanjian’.
Mereka pergi dan berfokus kepada obyek janjiNya (keturunan dan tanah), sampai mereka terpeleset dan sepakat mengambil Hagar. Ketidak dewasaan iman mereka bukan tanpa resiko.

Kejadian 16:12
Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.”

Ismail dan keturunannya dinubuatkan akan menjadi sumber masalah. Dan demikianlah yang kita saksikan terjadi hingga saat ini.

2. Berhenti di fokus kepada janjiNya saja

Dalam kasih setiaNya, Allah memperbarui dan menumbuhkan iman percaya dengan meneguhkan janjiNya melalui sunat. Kejadian 17
Namanya juga menjadi Abraham dan Sara. Sejak saat itu mereka berfokus kepada ‘janji-janjiNya’.

Iman percaya kepada janji atas keturunan ini kemudian terwujud. Allah mengaruniakan Ishak kepada mereka sebagai ‘Anak Perjanjian’.

Bayangkan kesukacitaan atas terpenuhinya Janji yang mereka percayai.
Tetapi, rupanya itu juga masih belum cukup. Bukan iman yang demikian juga yang sesungguhnya Allah kehendaki dan rancangkan.
Iman percaya kepada obyek janjinya tidaklah cukup.
Iman percaya kepada JanjiNya dengan segala kemungkinan bentuk perwujudannya adalah yang dikehendakiNya. Iman yang semakin dewasa adalah iman yang terbuka terhadap apa yang dimaksudkanNya dan tidak bersandar kepada pengertian sendiri.

Ishak yang lahir dari ketidakmungkinan dan berasal dari darah daging mereka sendiri adalah yang dimaksudkanNya.
Tetapi inipun kemudian kita tahu *masih belum cukup*; karena belum sampai kepada kedewasaan iman yang dimaksudkan Allah.
Abraham dan Sara bisa saja berpikir bahwa dengan adanya Ishak, maka sudah terpenuhilah janji Allah dan iman percaya mereka sudah cukup sampai disitu.

3. Iman yang akhirnya sampai kepada perhentian sesungguhnya: Fokus kepada Allah

Tetapi yang kemudian terjadi sangatlah mengagetkan dan mengherankan mereka. Ishak, anak penggenapan janji itu harus dibunuh sebagai korban bakaran.

Mereka masih belum sampai kepada ‘hidup oleh iman’ itu.
Saat mengambil langkah iman mempersembahkan Ishak, barulah mereka sampai kepada apa yang Allah maksudkan … bukan iman kepada obyek janjiNya … bukan iman kepada janjiNya saja … tetapi iman kepada Dia sendiri.

Iman kepada siapa Allah dan karakterNya … kepada rancangan kekalNya.
Inilah yang dimaksudkan Ibrani 11:17, 19

Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal,
Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali.
Disanalah mereka sampai kepada kesempurnaan iman dan hakiki hikmatNya … iman di dalam rancangan kekal Yesus Kristus.

Disanalah Abraham menghidupi iman Yesus Kristus.

Abaraham sampai kepada iman bahwa yang dimaksudkan ‘keturunan’ yang dijanjikan adalah Yesus Kristus dan kerurunan yang kemudian akan seperti bintang dilangit adalah keturunan yang lahir dari Roh dan kekal.

Coba perhatikan di Galatia 3:16, 26, 29

Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan “kepada keturunan-keturunannya” seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: “dan kepada keturunanmu”, yaitu Kristus.

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus.

Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.
Jadi, sekali lagi; iman percaya yang Allah kehendaki adalah harus sampai kepada kekekalan … menjangkau sampai kepada Dia sebagai pribadi yang segala-galanya bagi kita dan kepada rancangan kekalNya … Rancangan Injil KerajaanNya.

Tidak akan ada iman percaya yang gagal untuk iman yang demikian; bahkan jauh menjangkau sampai sesudah kematian kita.

Sebagaimana para bapa leluhur kita meneladankan dan menikmatinya.

Ibrani 11:39-40

Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik.

Sebab Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan.

Berdoa

Jika tidak waspada, pekerjaan dan kesibukan bisa menjadi tirani bagi kita. Tirani yang menguasai diri kita sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu untuk kontemplasi, merenung dan berdoa.

Yang saya maksud berdoa disini bukan berdoa yang berfokus dan berorientasi pada penyelesaian permasalahan hidup kita atau juga permasalahan orang lain (baca: doa syafaat).

Berdoa yang saya maksud adalah berdoa dimana kita datang kepada Allah tanpa agenda apapun selain mau datang saja kepadaNya … berfokus kepada Pribadi … kepada sifat-sifatNya … kepada rancangan kekalNya. Kepada TerangNya.

Jika demikian, maka menjadi teranglah diri dan jalan kehidupan kita. Hati kita menjadi apa adanya di hadapanNya … di dalam pengetahuanNya yang sempurna atas kita. Tidak ada apapun … tidak ada batas apapun … tidak ada yang kita rasakan perlu disembunyikan, karena semakin berfokus kepadaNya kita semakin merasakan TERANGNYA dan kasihNya. PenerimaanNya … Kelapangan Hatinya … Panjang sabarNya atas kita.

Segala isi hati kita bisa kita sampaikan dan utarakan tanpa batas; bahkan tanpa kata-kata.

Kemudian kita menjadi semakin sadar bahwa bukan diri kita sendiri yang berdoa, tetapi Roh Kudus yang menuntun kita berdoa. kata-kata … keluhan demi keluhan (yang kemudian kita sadari mendominasi) bukan lagi atas sesuatu yang terjadi atas kita, tetapi keluhan atas diri kita sendiri … batin kita … yang tidak ada apa-apanya.

Sejalan dengan itu, tanpa sadar kita melewati kesadaran entah di dalam pikiran kita entah di dalam roh kita atau bahkan di luar diri kita … keberadaan … Pribadi … sifat-sifatNya yang menyelimuti kita dengan penuh kemuliaanNya, sehingga pujian penghormatan peninggian penyembahan atas Dia tidak tertahankan dan terbantahkan lagi. Tangisan kebangkrutan diri kesukacitaan atas kasih karunia dan kelayakanNya yang berbaur dalam batin yang terterangi … terselimuti dan tertopangkan menjadi satu …..

Menjadi satu … sebagaimana doa dan kerinduan Tuhan Yesus atas kita, anak-anakNya dan umat tebusanNya.

Community of God’s people

RUPS2012Community : common and unity. A community is a social unit of any size that shares common values (http://en.wikipedia.org/wiki/Community). Common, in a way that being His Body they have then common ‘Head and Lord’. They share common root, foundation, center, purpose of life, way of life, world view, etc. Unity: There is one body, and one Spirit, even as ye are called in one hope of your calling; One Lord, one faith, one baptism, One God and Father of all, who is above all, and through all, and in you all. Eph. 4:4-6 (KJV)

Never been before where the term community is so frequent used nowdays. It’s so many group of people with common interest called themselves as community. They name theirs according to the interest and provided it’s member with identity significantly. for instance, ‘Community TV series’ being ranked in several critics’ lists of the best television series in 2010 (http://www.metacritic.com/feature/tv-critics-pick-ten-best-tv-shows-of-2010).

There are more of it’s dynamic by the internet tecnology where wich virtual communities are also abundance these days. “The concept of community has less geographical limitation” (http://en.wikipedia.org/wiki/Community). It is then, community of God’s people expand it’s meaning and operationality. ‘One anothering’ undergoing virtually and less depend solely on physical location.

What we can do about it? What lists of proactive responds and and attitude should we adopted as His fellow worker of the Kingdom?

——————————————————————

Dengan penyesuaian terhadap situasi kita, maka komunitas berarti mengacu kepada kelompok yang beroperasinya berdasarkan ikatan nilai-nilai kerajaan Allah. Komunitas merupakan penyegaran makna dari konsep “persekutuan” atau “Gereja / Tubuh Kristus” yang selama ini orang percaya pakai atau gunakan. Sejak era internet, konsep komunitas secara umum tidak lagi dibatasi batasan geografis; dimana orang bisa berinteraksi secara intens tidak perduli lokasinya.
Makna baru yang Allah karuniakan kepada kita mengenai konsep komunitas ini adalah bahwa didalam menghidupinya:

  • Nilai-nilai Kerajaan Allah diterapkan dengan ekspresi yang lebih hidup dan intens. Juga terutama dengan paradigma yang baru.
  • Salah satu sifat pentingnya adalah ‘inklusif’ (tidak eksklusif) terhadap mereka yang terhilang. Ini bersesuaian dengan pengertian yang dikandung dalam panggilan Nav (hidup dan memuridkan diantara yang terhilang)
  • Kita sedang menemukan peluang yang sangat besar untuk memfasilitasi para alumni kita menghidupkan komunitas dalam konteks mereka masing-masing. Peranan kita sebagai fasilitator (alongsider) adalah sangat menentukan di dalamnya.
  • Setiap kata saling yang positif di dalam FT adalah panduan beroperasinya.
  • Setiap kata saling yang negatif dalam FT adalah peringatannya.
  • Tentu saja, yang tidak kalah penting adalah bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita sedang beroperasi di dalam konteks komunitas ini? Bagaimana dengan kelompok PA ktia? Apakah ada beda dengan konsep komunitas ini?

Referensi:

http://dictionary.reference.com/browse/community
http://www.thefreedictionary.com/community
http://www.google.com/search?hl=en&rls=com.microsoft:en-us:IE-SearchBox&defl=en&q=define:community&ei=nrLiS9e7LMrCrAfrnZiFAw&sa=X&oi=glossary_definition&ct=title&ved=0CAYQkAE
http://www.merriam-webster.com/dictionary/community
http://www.answers.com/topic/community

Janji Keturunan

Generational 7_1 (1)Suatu kali salah satu pembimbing saya sedang mengalami persoalan di pekerjaan yang menggoncangkan kehidupan pribadi, keuangan dan keluarganya. Kira-kira satu tahun penuh dia harus menerima disiplin di tempat pekerjaan akibat kesalahannya.
Di tengah-tengah kondisi tersebut saya menyatakan kekuatiran saya kalau-kalau dia akan berhenti melayani dan memuridkan. Saya tidak bisa melupakan jawaban dia hingga sekarang ini:”Agung”, demikian katanya; “kalau kamu sayat kulitku sekarang ini, maka kamu akan menemukan pemuridan di dalam darah saya!”.
Dawson Trotman, pendiri The Navigators, karena menghadapi kenyataan bahwa orang yang menjadi percaya melalui dia setahun sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan perubahan, dia memutuskan tidak akan menyampaikan Injil kecuali akan memfollow upnya. Pada masa itu dia dikenal sebagai master of follow up; yang kemudian menuntun Navigator dengan panggilan pemuridannya.
Tahun 1988, salah satu staf navigator Korea melatih anaknya yang berusia 4 tahun sedemikian hingga setiap kali disentuh orang, akan terlontar dari mulutnya: “multiply laborers!”.

Beberapa peristiwa dan pengalaman ini, membentuk pemahaman saya mengenai apa artinya pelayanan generasional; panggilan unik yang Allah karuniakan kepada kita.

Terlepas dari pendapat kita masing-masing mengenainya, kita belajar satu hal mengenai panggilan pelayanan generasional ini. Munculnya generasi baru dari pekerjaNya adalah jiwa pelayanan kita. ‘Through spiritual generation of laborers’ adalah strategi kita sebagai satu-satunya. Kita meyakini bahwa melalui generasi pekerja-lah Allah mewujudkan rancanganNya di muka bumi ini.
Apa yang kita bisa pelajari mengenainya dari para leluhur kita? Apa yang mereka nyatakan mengenai rancangan generasi ini?
Yakub, menjelang akhir hidupnya berkata kepada Yusuf: “Tidak kusangka-sangka, bahwa aku akan melihat mukamu lagi, tetapi sekarang Allah bahkan memberi aku melihat keturunanmu.” Dan memberkati kedua cucunya. (Kej. 48:11, 21). Melihat keturunan merupakan kesukacitaan yang luar biasa.
Daud, secara emosional menyatakan rasa syukurnya kepada Allah atas rancangan keturunannya:” Dan hal ini masih kurang di mata-Mu, ya Tuhan ALLAH; sebab itu Engkau telah berfirman juga tentang keluarga hamba-Mu ini dalam masa yang masih jauh dan telah memperlihatkan kepadaku serentetan manusia yang akan datang, ya Tuhan ALLAH.” (2 Sam. 7:19)
Paulus, membagikan rahasia terbesar mengenai pelayanan generasional ini: Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan “kepada keturunan-keturunannya” seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: “dan kepada keturunanmu“, yaitu Kristus. (Gal. 316) Kristus sendirilah yang menjadi hakiki dan roh dari pelayanan generasional kita.

Dalam perjuangan menghasilkan generasi yang demikian, ada waktu dia melewati penderitaan yang begitu hebatnya seperti perempuan yang hendak melahirkan. (Gal 4:19) Pendampingan dan follow up adalah hal yang tidak dikompromikannya di dalam menghasilkan generasi yang baru. (1 Tes. 3:5) Dia memandang dirinya seperti bapa atau ibu di dalam memuridkan generasi baru yang dimuridkannya. (1 Tes. 2:7, 11) Tidak bisa disangkali, kehidupannya sendirilah yang menjadi model utama pelayanan generasionalnya. (2 Tim. 3:10). Dan yang terakhir, pelayanan generasional dikatakan berhasil jika ada generasi baru yang akan mengambil alih visi dan panggilannya. (2 Tim 2:2)

Di dalam memenuhi panggilanNya, kita harus memastikan memfokuskan seluruh energi pelayanan kita demi lahirnya generasi pekerja Kristus yang baru di berbagai konteks yang Allah karuniakan kepada kita masing-masing.

Fokus 1

focus_on_jesus1‘Tidak fokus’ bisa dikatakan mewakili generasi kita saat ini. Semakin banyak hal tidak utama yang menyita perhatian dan menyimpangkan. Dan memang tidak bisa dihindari, sekarang ini kita hidup di tengah arus berbagai tarikan perhatian yang begitu deras. Seperti iklan bisnis, tawaran yang bertubi-tubi menyimpangkan fokus kita. ‘Pakailah saya’, ‘dengarkan saya’, ‘ikuti saya’, ‘perhatikan saya’, ‘mari bersama saya’; menjadi tantangan yang besar dalam keseharian kita. Saat sekarang ini bisa jadi merupakan penggenapan puncak  dari apa yang dikatakan oleh Paulus : ” sebab semuanya mencari kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus” (Fil. 2:21).

Tawaran-tawaran yang nampaknya menarik dan memberi solusi cepat, mengakibatkan jalur panggilan kita yang harus ‘berdiam diri dan menantikan Tuhan’ menjadi semakin sulit dijalani. Tetapi yang sebetulnya lebih mendasar, hal tersebut akan menguji kemurnian hati dan fokus kita kepada yang seharusnya.

Kita semakin perlu untuk saling mengingatkan, supaya apapun yang terjadi fokus kita terus kepada Yesus dan panggilanNya. Kita perlu menganggap seakan-akan Paulus terus sedang berbicara kepada kita: “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor.2:2). Watak dan aroma Kristuslah yang menjadi alat utama evaluasi diri, keluarga, pekerjaan  dan pelayanan kita.

Merindukan Gerakan Injil dalam Keluarga Besar

Merindukan gerakan Injil di dalam keluarga besar
Pendahuluan
Dalam tulisan ini saya mau berbagi mengenai pelajaran di dalam melayani keluarga besar yang berlatar belakang campur antara Kristen dan Islam. Dari 10 orang bersaudara jumlah total kami sekarang termasuk anak kurang lebih 40 orang. Sejak bertumbuh dalam pemuridan 29 tahun yang lalu, saya masih terus menunggu bahwa Allah akan memenuhi janjiNya dalam Kis. 16:31. Dengan cara bagaimana Allah akan menyelamatkan kami? Seperti apa gerakan Injil KerajaanNya akan berlangsung dalam dan melalui keluarga kami? Bagian atau peranan apa lagi yang harus saya ambil? Banyak pertanyaan semacam ini yang saya gumuli dalam membebani mereka. Minggu demi minggu saya berseru kepadaNya untuk mereka.
Keluarga adalah interaksi
Sesudah orang tua kami meninggal, disepakati untuk mengadakan pertemuan keluarga besar setiap tahun dengan tempat bergiliran. Pertemuan biasanya diselenggarakan pada akhir tahun. Salah satu om saya yang sudah naik haji suatu waktu juga minta diundang dan selalu datang dalam pertemuan tiga tahun terakhir ini.
Seperti biasanya, pertemuan akhir tahun 2010 yang lalu mereka meminta saya untuk merencanakan dan memimpin acaranya. Acara diselenggarakan di rumah om yang haji tersebut. Selain interaksi informal dan banyak berbagi mengenai berbagai peristiwa yang dialami masing-masing; saya memfasilitasi pertemuan bersama dengan diskusi mengenai ‘pengampunan’. Tahun-tahun sebelumnya saya fasilitasi diskusi dengan topik-topik seperti pengharapan, kerukunan dan keluarga. Diskusi yang saya maksudkan disini adalah diskusi santai, mengikutsertakan semua anggota keluarga termasuk yang berusia 6 tahun misalnya. Saya juga menggunakan beberapa alat peraga seperti proyektor, kertas dan alat tulis untuk masing-masing menggambar. Saya juga mengajak mereka untuk ikut berperan aktif dalam diskusi dengan menggambar, berbagi atau bercerita.
Sebelum dan sesudah pertemuan besar seperti di atas, kami sekeluarga biasanya melakukan kunjungan pribadi kepada satu atau dua keluarga diantara mereka. Atau juga saya pribadi yang bertemu dengan mereka karena kebutuhan situasional. Yang kami lakukan adalah mendengar, menunjukkan kasih dan   kadang-kadang ikut ambil bagian atau diminta memberi input di dalam penyelesaian persoalan mereka.
Selain interaksi darat yang bersifat rutin tetapi jarang tersebut, interaksi udara lewat telepon kadang-kadang juga berlangsung secara intens; khususnya ketika ada persoalan.
Allah meneguhkannya? Ibr. 2:4
Dalam interaksi dan diskusi mengenai topik ‘pengampunan’ akhir 2010 yang lalu, berlanjut dengan interaksi yang lebih dalam dengan salah satu keluarga adik no. 5 kami. Suaminya adalah seorang polisi yang bertugas di kota Sampang Madura, tetapi mereka membangun rumah di kota Kediri dimana isteri dan dua anaknya tinggal. Mereka adalah keluarga Muslim dan rupanya sedang di tengah-tengah masalah hubungan suami isteri yang berat. Beberapa tahun yang lalu atas nasihat kiai setempat mereka pernah dinikahkan lagi karena dianggap sudah bukan suami isteri lagi akibat keterpisahan mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir konflik mereka memuncak dan muncul tuntutan untuk bercerai. Sesudah pertemuan keluarga besar tersebut, adik yang lain menghubungi saya dan menyebutkan bahwa adik ini membutuhkan pertolongan saya tetapi segan untuk menghubungi saya secara langsung. Sesudah saya menghubungi dan mendengarkan keluhan permintaan tolongnya, saya berhasil menghubungi suaminya dan mengadakan pertemuan secara pribadi di Surabaya; dilanjutkan pertemuan dengan adik saya secara pribadi dan pertemuan bertiga di Kediri.
Selang waktu diantara pertemuan pribadi dengan suaminya dan pertemuan dengan adik saya tersebut, rupanya anak sulungnya (laki-laki 21 tahun) yang hadir dalam pertemuan bersama di akhir tahun tersebut, berinisiatif mempertemukan orang tuanya ini dan sekalian adiknya dan mendesak rekonsiliasi diantara mereka. Suami adik saya ini tidak bisa hadir di dalam pertemuan akhir tahun 2010 tersebut. Rekonsiliasi berlangsung dan mereka saling minta maaf dan mengampuni.
Pada waktu saya mempertemukan mereka berdua dan memfasilitasi rekonsiliasi, sebetulnya sudah didahului oleh apa yang anaknya lakukan. Apa yang saya lakukan lebih merupakan penegasan dan klarifikasi cara pandangnya. Mereka berdamai dan berjanji untuk memperbarui komitmen pernikahan mereka yang bulan Februari 2011 ini sudah 25 tahun usianya.
Apa yang sebetulnya sedang terjadi? Dalam kacamata iman saya adalah sebagaimana dijanjikan dalam Ibrani 2:4 :
Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan dan karena Roh Kudus, yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya.
Belajar memahami kehendak dan pekerjaan Allah bagi keluarga besar kita
1. Dia mengasihi dan memanggil keluarga besar kita kepada karya keselamatanNya. Lebih besar lagi, Allah juga memanggil mereka menjadi bagian dari gerakan InjilNya bagi banyak suku, kaum, bahasa dan bangsa. Kakak sulung saya yang adalah saudara tiri saya, dalam kesederhanaannya sebagai pesiunan buruh pabrik rokok Gudang Garam dan hanya lulusan SD selama beberapa tahun ini secara aktif menjadikan rumahnya di desa sebagai pos penginjilan dan menjangkau secara holistik tetangganya. Mat 9:36-38 merupakan dasar doa dan masih menjadi impian saya atas mereka.
2. Allah telah menggariskan dan mereka-rekakan segala sesuatu menuju kepada pemenuhan rancanganNya. Setiap orang dan setiap keluarga akan menghadapi kenyataan bahwa mereka adalah terbatas dalam kekuatan dan sumber daya mereka. Allah menunggu bahwa melaluinya mereka akan mencari Dia dan menemukanNya. Kis 17:26-27 dengan jelas menyatakan hal ini.
Bagian kita adalah dengan sabar dan penuh kasih mendampingi ‘keterbatasan’ mereka dan mengajak mereka untuk melakukan ‘journey bersama’ kepada tujuan yang disediakanNya; yang adalah kemuliaan, kekuatan dan kekekalan melalui jalan, kebenaran dan hidup di dalam Yesus Kristus.
3. Dia memanggil kita untuk secara proaktif menjadi berkat bagi mereka. Jika tidak mulai dari kita, dari siapa lagi? Merekalah yang secara intens  dan jangka panjang berinteraksi dengan kita dan menyaksikan kasih karuniaNya atas kita. Dari waktu ke waktu, tuntutan untuk terlibat secara dalam dengan permasalahan hdup mereka tidak akan pernah habis-habisnya. Dalam kasih karunia hikmatNya dan pengertian yang benar mengenai kehendak-rancanganNya, disanalah kita bisa mengambil bagian dalam pergerakan Injil KerajaanNya di keluarga besar kita.
Secara garis besar, bagian yang saya ambil dalam mendampingi proses rekonsiliasi keluarga adik saya no. 5 tersebut adalah:
– Memanfaatkan pintu pelayanan yang terbuka yaitu dengan memfasilitasi interaksi dan diskusi mengenai topik-topik yang merupakan persoalan mendasar diantara kami: pengharapan, kerukunan, pemahaman yang benar  mengenai keluarga dan pengampunan.
– Dari waktu ke waktu, saya menemukan bahwa Allah selalu menyediakan hikmat  yang kami perlukan. Ada 4 hal yang menjadi isi dari hikmat pertolongan kepada mereka:
Pertama: Jika bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah orang membangunnya. Hikmat FT inilah yang saya ekspos dan ajak adik saya dan suaminya untuk menghidupinya.
Kedua : Memastikan keinginan yang murni dari kedua belah pihak (Yakobus 3:16). Bukan untuk mau menangnya sendiri atau menghakimi dan memastikan pihak yang lain adalah yang salah, tetapi memang sungguh-sungguh berkeinginan untuk rekonsiliasidan pulih dalam hubungan suami isteri dan keluarga.
Ketiga: Menyelidiki diri pribadi dan menjawab pertanyaan: “Kesalahan apa yang telah saya perbuat sehingga persoalan ini terjadi?” (Ratapan 3:39) dan sama sekali tidak memikirkan kesalahan pihak yang lain.
Keempat: Bersedia dan siap untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat dan mengampuni kesalahan pihak yang lain. Karena sudah diekspos dalam pertemuan keluarga be¬¬sar, maka secara mental dan atmosfirnya langkah ini sebetulnya sudah dipersiapkan sebelumnya.
Sekali lagi, sebagaimana sudah saya sebutkan di bagian awal bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini Allah sepertinya memanggilnya saya untuk berperan aktif di dalam memfasilitasi interaksi dan diskusi bersama mengenai beberapa topik yang bisa jadi krusial dalam ‘journey’ keluarga kami.
Kepekaan dan kesengajaan saya di dalam membebani dan mengambil peranan secara proaktif di dalam pemenuhan kehendak rancanganNya adalah hal yang harus saya pertanggungjawabkan di hadapanNya.
Sebagai catatan terakhir; semua proses yang berlangsung di dalam mendampingi keluarga adik saya tersebut berlangsung sepengetahuan keluarga besar kami dan khususnya kedua anaknya. Dengan demikian kita bisa berharap bahwa Allah akan mengusik hati mereka dan diterangi isi hati mereka dan menuntun mereka selangkah lebih maju lagi di dalam perjalanan menuju kepada rancanganNya: Gerakan Injil Yesus Kristus dan kerajaanNya di dalam dan melalui mereka.

big familyPendahuluan

Dalam tulisan ini saya mau berbagi mengenai pelajaran di dalam melayani keluarga besar yang berlatar belakang campur antara Kristen dan Islam. Dari 10 orang bersaudara jumlah total kami sekarang termasuk anak kurang lebih 40 orang. Sejak bertumbuh dalam pemuridan 29 tahun yang lalu, saya masih terus menunggu bahwa Allah akan memenuhi janjiNya dalam Kis. 16:31. Dengan cara bagaimana Allah akan menyelamatkan kami? Seperti apa gerakan Injil KerajaanNya akan berlangsung dalam dan melalui keluarga kami? Bagian atau peranan apa lagi yang harus saya ambil? Banyak pertanyaan semacam ini yang saya gumuli dalam membebani mereka. Minggu demi minggu saya berseru kepadaNya untuk mereka. Continue reading “Merindukan Gerakan Injil dalam Keluarga Besar”

Jangan membuatnya menjadi sia-sia!

Jangan membuatnya menjadi sia-sia!
Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. II Kor. 6:1
Akhir tahun 1999 lalu melalui beberapa ayat Firman Tuhan saya dituntun untuk mencermati apa yang sudah saya -secara pribadi- nikmati dengan kasih karuniaNya. Tetapi yang lebih  menantang saya adalah  pertanyaan apakah kasih karunia yang sudah saya terima tersebut memang tidak menjadi sia-sia di dalam kehidupan yang saya hidupi selama ini?
Macam apakah kasih karuniaNya yang sudah saya nikmati?
Sesudah mengaku menerima Kristus secara pribadi pada usia 12 tahun, bisa dikatakan tidak ada perubahan yang berarti di dalam watak perbuatan saya. Hari-hari saya lalui seperti kebanyakan orang di lingkungan saya hidup dan bertumbuh. Manusia batiniah saya rasanya juga masih tetap bangkrut seperti teman-teman saya yang lain. Pergi ke Gereja memang aktif; tetapi itu karena memang semua anggota keluarga kami demikian pada waktu itu. Kalau tidak salah ingat, sejak usia 12 tahun itu sampai tahun-tahun awal di perguruan tinggi, kira-kira empat sampai lima kali lagi saya menerima Kristus sebagai juru selamat saya.  Dimanakah kasih karunia Allah berlaku bagi saya pada masa-masa ini?
Kemudian hari barulah menyadari kasih karunia macam apa yang sudah saya terima di masa-masa tersebut.
Lingkungan bertumbuh sebagai anak
Dari SD hingga lulus SMP saya tinggal di satu gang buntu yang diberi nama Gang ABRI. Disebut demikian karena 6 keluarga yang tinggal di gang tersebut adalah anggota ABRI. Tidak ada yang terkecuali, semua ayah di gang tersebut beristri lebih dari satu. Kira-kira satu kilometer dari gang kami adalah kompleks pelacuran. Lingkungan saya secara moral bisa saudara  bayangkan seperti apa. Satu dua kejadian tidak sampai hati bagi saya untuk menuliskannya disini karena buruknya.
Pada waktu masuk SMU saya pindah kota dan tinggal bersama saudara ibu saya. Saya tinggal di suatu kampung kecil yang baru berkembang yang terdiri dari orang-orang pinggiran di dekat kota tersebut. Tetangga-tetangga saya adalah pencopet, pencuri, wanita pelacur, pengemis yang isterinya lebih dari satu dan dengan rumah yang cukup besar, kakak beradik yang incest. Pernah suatu kali di depan rumah yang saya tinggali salah satu anak tetangga dipukuli karena mencuri. Saya juga pernah diminta membuat surat cinta oleh seorang pencopet kawakan disitu. Suatu kali saya juga harus menyaksikan tetangga sebelah rumah persis yang adalah wanita P sedang jatuh tertelungkup saat bunuh diri meminum racun. Isteri Om saya sendiri dimana saya tinggal yang kemudian diceraikan, adalah juga mantan wanita P. Selama satu tahun penuh saya tinggal di lingkungan yang demikian.
Pendidikan formal
Saya lahir di dalam keluarga besar dimana ada 9 saudara kandung dan 1 saudara tiri dalam keluarga kami. Dengan pekerjaan ayah sebagai polisi dan tinggal di desa pelosok, maka tidak ada bayangan bahwa saya akan belajar sampai di perguruan tinggi. Ketika di PT, saya adalah salah satu dari sedikit orang yang kuliah pada waktu itu. Sesudah lulus SMP, atas nasihat ayah, saya harus sekolah kejuruan supaya bisa segera bekerja. Saat diterima tes di sekolah kejuruan, kami mendapati bahwa biaya masuknya terlalu tinggi bagi kemampuan ayah saat itu. Kami menangis berdua dan terpaksa masuk sekolah SMA yang umum. Karena mendapat kesempatan masuk tanpa tes dan mendapat bea siswa sewaktu di SMA, saya memberanikan diri memasuki perguruan tinggi tanpa cita-cita yang jelas.
Kemudian hari ketika saya melihat ke belakang dan merenungkannya, saya bertanya-tanya bagaimana mungkin saya bisa survive dari pengaruh lingkungan yang demikian? Seakan-akan saya tidak tersentuh sama sekali oleh pengaruhnya, seperti ibu almarhumah saya pernah mengatakan “Agung ini nanti kalau besar pasti maunya semuanya putih”. Satu hal yang saya tahu saat itu adalah bahwa saya tidak berusaha melawannya ataupun melarikan diri dari sana, karena memang tidak tahu atau menyadarinya.
Saya tidak menyangka bahwa saya bisa melewati pendidikan di PT (dengan beberapa tahun bea siswa). Saya coba teliti ke dalam diri dan pengaruh keluarga atau lingkungan, saya tidak menemukan yang mendorong ke sana. Malahan sebaliknyalah yang seharusnya saya hidupi; seperti kebanyakan teman saya waktu itu.
Satu-satunya jawaban yang bisa menjelaskan dan kemudian sangat melegakan; adalah pastilah Allah disebalik semuanya ini. Inilah wujud kasih karuniaNya bagi saya. Dia-lah yang oleh kasih karuniaNya bagi saya telah turut bekerja dalam masa lalu saya untuk mendatangkan kebaikan bagi saya yang telah terpanggil sesuai dengan rencanaNya (Roma 8:28). Memang sesudah Saya  menerima Yesus saya tidak mengerti apa-apa, tetapi rupanya saya sudah terpanggil sesuai dengan rencanaNya. Saat semester 2 di perkuliahan, seorang teman mengajak saya ke gelanggang mahasiswa yang rupanya sedang ada rally Navigator saat itu. Sesudah diskusi kelompok kecil selesai dan saya kembali ke kos-kosan, saya menuliskan dibuku harian saya waktu itu (8 Feb. 1982):”This is it. Inilah saat yang lama sekali saya tunggu-tunggu!”.
Sesudah dimuridkan, bertumbuh dan ikut ambil bagian dalam gerakan pemuridanNya, saya menyadari adanya suatu rancangan besar yang  Allah sedang rampungkan dimana saya juga ada di dalamnya (Ef. 1:4,5). Untuk itulah kasih karunia masa lalu saya adalah cukup bagi saya sebagaimana terwujud dalam apa adanya saya saat ini di hadapanNya. Kasih karuniaNya membuat saya tidak tersentuh oleh bobroknya lingkungan pergaulan saya. Kasih karuniaNya juga menghindarkan saya dari nasib menjadi manusia bobrok yang adalah sewajarnya kalau saya terima. Kasih karuniaNya menuntun saya kepada pendidikan tinggi –melalui berbagai ketidak-mungkinan- supaya saya bisa hidup bagi para mahasiswa dan menghasilkan para pekerjaNya melaluinya hingga ke suku – kaum – bahasa dan bangsa-bangsa. Saya bisa bersaksi sekarang bahwa sudah bertahun-tahun sebelumnya Allah telah menunggu saya di antara mahasiswa.
Saya bisa bagikan diberbagai bidang kehidupan saya lainnya bagaimana kasih karunianya begitu berlimpah atas jalan-jalan hidup kami (saya, Wiewiek, Aldo dan Kiani).
Jangan sampai menyia-nyiakan
Bagaimanakah supaya kasih karunia yang sudah saya terima secara berlimpah tersebut tidak menjadi sia-sia?  Ijinkan saya membagikan mengenainya dari proses pembelajaran selama ini.
1. Selalu memandangnya demikian; bahwa tidak ada sesuatupun yang ada pada kita adalah hasil dan terserah kita di dalam mengelola dan memanfaatkannya. Kesehatan, pemilikan (uang, waktu, kapasitas, pekerjaan, karir atau jabatan dll nya) adalah wujud dari kasih karuniaNya.
1Kor 4:7  Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?
Kiranya kita bisa mengklaim bahwa “Engkaulah satu-satunya yang kumiliki dan bagianku!” Yang lain-lain adalah hanya limpahan kasih karuniaNya dan kita hidupi karena untuk mewujudkan maksud dan rancangan kemulianNya dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
Satu cara self assessment yang sederhana untuk hal ini adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Seberapa menyatu segala sumber daya yang ada pada saya dengan aliran pergerakan InjilNya? Mengalir kepda orang-orang yang ada diberbagai jaringan hubungan saya? Keluarga besar, tetangga, teman kantor, teman hobby dan sosial lainnya?”. “Seberapa menyatu aktifitas kehidupan keseharian saya dengan aliran kabar baikNya?” “Seberapa sengaja saya melakukannya?”
Jangan membuatnya menjadi sia-sia!
Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. II Kor. 6:1
Akhir tahun 1999 lalu melalui beberapa ayat Firman Tuhan saya dituntun untuk mencermati apa yang sudah saya -secara pribadi- nikmati dengan kasih karuniaNya. Tetapi yang lebih  menantang saya adalah  pertanyaan apakah kasih karunia yang sudah saya terima tersebut memang tidak menjadi sia-sia di dalam kehidupan yang saya hidupi selama ini?
Macam apakah kasih karuniaNya yang sudah saya nikmati?
Sesudah mengaku menerima Kristus secara pribadi pada usia 12 tahun, bisa dikatakan tidak ada perubahan yang berarti di dalam watak perbuatan saya. Hari-hari saya lalui seperti kebanyakan orang di lingkungan saya hidup dan bertumbuh. Manusia batiniah saya rasanya juga masih tetap bangkrut seperti teman-teman saya yang lain. Pergi ke Gereja memang aktif; tetapi itu karena memang semua anggota keluarga kami demikian pada waktu itu. Kalau tidak salah ingat, sejak usia 12 tahun itu sampai tahun-tahun awal di perguruan tinggi, kira-kira empat sampai lima kali lagi saya menerima Kristus sebagai juru selamat saya.  Dimanakah kasih karunia Allah berlaku bagi saya pada masa-masa ini?
Kemudian hari barulah menyadari kasih karunia macam apa yang sudah saya terima di masa-masa tersebut.
Lingkungan bertumbuh sebagai anak
Dari SD hingga lulus SMP saya tinggal di satu gang buntu yang diberi nama Gang ABRI. Disebut demikian karena 6 keluarga yang tinggal di gang tersebut adalah anggota ABRI. Tidak ada yang terkecuali, semua ayah di gang tersebut beristri lebih dari satu. Kira-kira satu kilometer dari gang kami adalah kompleks pelacuran. Lingkungan saya secara moral bisa saudara  bayangkan seperti apa. Satu dua kejadian tidak sampai hati bagi saya untuk menuliskannya disini karena buruknya.
Pada waktu masuk SMU saya pindah kota dan tinggal bersama saudara ibu saya. Saya tinggal di suatu kampung kecil yang baru berkembang yang terdiri dari orang-orang pinggiran di dekat kota tersebut. Tetangga-tetangga saya adalah pencopet, pencuri, wanita pelacur, pengemis yang isterinya lebih dari satu dan dengan rumah yang cukup besar, kakak beradik yang incest. Pernah suatu kali di depan rumah yang saya tinggali salah satu anak tetangga dipukuli karena mencuri. Saya juga pernah diminta membuat surat cinta oleh seorang pencopet kawakan disitu. Suatu kali saya juga harus menyaksikan tetangga sebelah rumah persis yang adalah wanita P sedang jatuh tertelungkup saat bunuh diri meminum racun. Isteri Om saya sendiri dimana saya tinggal yang kemudian diceraikan, adalah juga mantan wanita P. Selama satu tahun penuh saya tinggal di lingkungan yang demikian.
Pendidikan formal
Saya lahir di dalam keluarga besar dimana ada 9 saudara kandung dan 1 saudara tiri dalam keluarga kami. Dengan pekerjaan ayah sebagai polisi dan tinggal di desa pelosok, maka tidak ada bayangan bahwa saya akan belajar sampai di perguruan tinggi. Ketika di PT, saya adalah salah satu dari sedikit orang yang kuliah pada waktu itu. Sesudah lulus SMP, atas nasihat ayah, saya harus sekolah kejuruan supaya bisa segera bekerja. Saat diterima tes di sekolah kejuruan, kami mendapati bahwa biaya masuknya terlalu tinggi bagi kemampuan ayah saat itu. Kami menangis berdua dan terpaksa masuk sekolah SMA yang umum. Karena mendapat kesempatan masuk tanpa tes dan mendapat bea siswa sewaktu di SMA, saya memberanikan diri memasuki perguruan tinggi tanpa cita-cita yang jelas.
Kemudian hari ketika saya melihat ke belakang dan merenungkannya, saya bertanya-tanya bagaimana mungkin saya bisa survive dari pengaruh lingkungan yang demikian? Seakan-akan saya tidak tersentuh sama sekali oleh pengaruhnya, seperti ibu almarhumah saya pernah mengatakan “Agung ini nanti kalau besar pasti maunya semuanya putih”. Satu hal yang saya tahu saat itu adalah bahwa saya tidak berusaha melawannya ataupun melarikan diri dari sana, karena memang tidak tahu atau menyadarinya.
Saya tidak menyangka bahwa saya bisa melewati pendidikan di PT (dengan beberapa tahun bea siswa). Saya coba teliti ke dalam diri dan pengaruh keluarga atau lingkungan, saya tidak menemukan yang mendorong ke sana. Malahan sebaliknyalah yang seharusnya saya hidupi; seperti kebanyakan teman saya waktu itu.
Satu-satunya jawaban yang bisa menjelaskan dan kemudian sangat melegakan; adalah pastilah Allah disebalik semuanya ini. Inilah wujud kasih karuniaNya bagi saya. Dia-lah yang oleh kasih karuniaNya bagi saya telah turut bekerja dalam masa lalu saya untuk mendatangkan kebaikan bagi saya yang telah terpanggil sesuai dengan rencanaNya (Roma 8:28). Memang sesudah Saya  menerima Yesus saya tidak mengerti apa-apa, tetapi rupanya saya sudah terpanggil sesuai dengan rencanaNya. Saat semester 2 di perkuliahan, seorang teman mengajak saya ke gelanggang mahasiswa yang rupanya sedang ada rally Navigator saat itu. Sesudah diskusi kelompok kecil selesai dan saya kembali ke kos-kosan, saya menuliskan dibuku harian saya waktu itu (8 Feb. 1982):”This is it. Inilah saat yang lama sekali saya tunggu-tunggu!”.
Sesudah dimuridkan, bertumbuh dan ikut ambil bagian dalam gerakan pemuridanNya, saya menyadari adanya suatu rancangan besar yang  Allah sedang rampungkan dimana saya juga ada di dalamnya (Ef. 1:4,5). Untuk itulah kasih karunia masa lalu saya adalah cukup bagi saya sebagaimana terwujud dalam apa adanya saya saat ini di hadapanNya. Kasih karuniaNya membuat saya tidak tersentuh oleh bobroknya lingkungan pergaulan saya. Kasih karuniaNya juga menghindarkan saya dari nasib menjadi manusia bobrok yang adalah sewajarnya kalau saya terima. Kasih karuniaNya menuntun saya kepada pendidikan tinggi –melalui berbagai ketidak-mungkinan- supaya saya bisa hidup bagi para mahasiswa dan menghasilkan para pekerjaNya melaluinya hingga ke suku – kaum – bahasa dan bangsa-bangsa. Saya bisa bersaksi sekarang bahwa sudah bertahun-tahun sebelumnya Allah telah menunggu saya di antara mahasiswa.
Saya bisa bagikan diberbagai bidang kehidupan saya lainnya bagaimana kasih karunianya begitu berlimpah atas jalan-jalan hidup kami (saya, Wiewiek, Aldo dan Kiani).
Jangan sampai menyia-nyiakan
Bagaimanakah supaya kasih karunia yang sudah saya terima secara berlimpah tersebut tidak menjadi sia-sia?  Ijinkan saya membagikan mengenainya dari proses pembelajaran selama ini.
1. Selalu memandangnya demikian; bahwa tidak ada sesuatupun yang ada pada kita adalah hasil dan terserah kita di dalam mengelola dan memanfaatkannya. Kesehatan, pemilikan (uang, waktu, kapasitas, pekerjaan, karir atau jabatan dll nya) adalah wujud dari kasih karuniaNya.
1Kor 4:7  Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?
Kiranya kita bisa mengklaim bahwa “Engkaulah satu-satunya yang kumiliki dan bagianku!” Yang lain-lain adalah hanya limpahan kasih karuniaNya dan kita hidupi karena untuk mewujudkan maksud dan rancangan kemulianNya dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
Satu cara self assessment yang sederhana untuk hal ini adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Seberapa menyatu segala sumber daya yang ada pada saya dengan aliran pergerakan InjilNya? Mengalir kepda orang-orang yang ada diberbagai jaringan hubungan saya? Keluarga besar, tetangga, teman kantor, teman hobby dan sosial lainnya?”. “Seberapa menyatu aktifitas kehidupan keseharian saya dengan aliran kabar baikNya?” “Seberapa sengaja saya melakukannya?”
2. Pandanglah segala sesuatu dari perspektif Allah.
Sergei Tarassenko, seorang fisikawan Rusia ketika mengajar mengenai perspektif Allah mengatakan¹:
”Kita cenderung memandang peristiwa atau kejadian dengan pikiran bagaimana hal tersebut berdampak bagi kita disini dan sekarang, tetapi Allah memiliki perspektif yang berbeda; Dia selalu memandang bagaimana hal tersebut memberi sumbang sih kepada pertumbuhan kita di dalam keserupaan dengan Kristus, dan kepada kemajuan dan kuasa Injil di negeri kita sendiri hingga ke bangsa-bangsa di dunia”.
Setiap peristiwa dan kejadian, saya ulangi, setiap peristiwa dan kejadian di dalam kehidupan kita sekecil apapun; sebesar apapun adalah hanya di dalam rangka kedua hal tersebut di atas. Baiklah kita memberanikan diri memandang hidup kita semua, setiap saat adalah selalu di dalam kerangka kedua hal di atas. Inilah yang dimaksudkan dengan ‘hanya hidup oleh percayanya itu’.
Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.” Heb 10:38
Kemarin sore, sesudah selesai sesi PA persiapan pernikahan dengan kami, si calon mempelai wanita berkata :”Saya jadi sadar sekarang, jika kita memandang pernikahan dengan cara pandang yang benar rupanya kita bisa dengan lega sekali menjalani dan menapakinya ”. Saya melihatnya bahwa dia baru saja dimerdekakan oleh kebenaran itu. Pernikahan hanyalah bayangan, sedangkan wujudnya adalah Kristus. Rahasia pernikahan adalah besar karena Kristus dan JemaatNya-lah yang  sedang dimaksudkanNya.
3. Jika sedang mengalami saat-saat yang melelahkan, berat dan membingungkan, kembalilah kepada 1 dan 2 diatas.
Sekali lagi, kasih karuniaNya adalah berlimpah dan melebihi batas pemahaman dan pengertian kita. Kita selalu bisa kembali ke sana dan menemukan bahwa selalu ada tempat bagi kita di dalam rengkuhannya.
Berhenti, berdiam diri sejenak, mengakui segala sesuatunya dan dengan sisa-sisa tenaga berusaha berseru supaya Dia memampukan kita untuk bisa memandang sebagaimana Dia memandangnya. Berkeraslah untuk memeluk kakiNya dan jangan lepaskan sebelum Dia memberkati kita dengan lumasan minyak atas mata kita, supaya kita melihat. Disana, tiba-tiba saja langit terbuka dan mata kita terbuka lebar melihat betapa setiaNya Dia dan kembali meluruskan jalan kita serta mereka-rekakan kesesakan kita menjadi kebaikan bagi pemenuhan rancanganNya atas kita:
Dibentuknya untuk semakin menjadi serupa dengan Kristus dan memberi sumbang sih bagi pergerakan ‘Kabar Baik’Nya di setiap jalur jaringan hubungan kehidupan kita dengan orang lain.
¹Dikutip dari buku ‘Shining Like Stars’, Lindsay Brown.

graceSebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. II Kor. 6:1

Akhir tahun 1999 lalu melalui beberapa ayat Firman Tuhan saya dituntun untuk mencermati apa yang sudah saya -secara pribadi- nikmati dengan kasih karuniaNya. Tetapi yang lebih  menantang saya adalah  pertanyaan apakah kasih karunia yang sudah saya terima tersebut memang tidak menjadi sia-sia di dalam kehidupan yang saya hidupi selama ini? Continue reading “Jangan membuatnya menjadi sia-sia!”